Laman

Minggu, 29 Januari 2012

Tarikh

Oleh : Yuyun Yuningsih


Tarikh yaitu sistem penanggalan Islam yang perhitungannya didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi  bumi. Secara bahasa berarti era, kronologi, penanggalan, kronik, karya sejarah atau sejarah itu sendiri.

Ada dua sistem penanggalan. Pertama, sistem penanggalan yang didasarkan pada waktu perputaran bumi mengelilingi matahari yang disebut sistem penanggalan Syamsiyah (didasarkan pada matahari) atau disebut juga Masehi atau miladiyah karena perhitungan tahun pertamanya didasarkan pada kelahiran (milad) Isa al-Masih (Nabi Isa AS). Kedua, sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, disebut sistem penanggalan Qamariyah (didasarkan pada bulan) atau penanggalan Hijriyah, karena tahun pertamanya dihitung sejak peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Sistem penanggalan inilah yang disebut sistem penanggalan Islam.

Penetapan tahun Hijriyah diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab (581-23H/644M) pada rahun keempat ia menjadi khalifah. Tepatnya pada suatu pertemuan dengan para sahabat lainnya pada hari Kamis, 8 Rabiulawal tahun ke-17 setelah hijrah. Menurut riwayat seorang sahabat Nabi SAW, Maimun bin Mahran, suatu hari Khalifah Umar dihadapkan pada sebuah dokumen yang bertanda bulan Syakban. Khalifah Umar bertanya : “Bulan Syakban yang mana?” Para sahabat tidak ada yang tahu persis. Menurut riwayat as-Sya’bi, seorang tokoh hadits, suatu ketika Abu Musa al-Asy’ari mengirim sepucuk surat kepada Khalifah Umar yang isinya menyatakan bahwa ia menerima sepucuk surat dari Khalifah Umar tanpa diberi tanggal, bulan dan tahun. Hal ini akan menimbulkan  kesulitan dan kekeliruan. Atas dasar peristiwa tersebut maka Khalifah Umar mengundang  para sahabat yang lain untuk menetapkan dasar-dasar yang dipakai dalam memulai perhitungan tahun. Diantara sahabat yang hadir ada yang mengusulkan supaya pangkal tahun dihitung sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada yang mengusulkan sejak turunnya wahyu pertama dan yang lainnya mengusulkan sejak Perang Badar dan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan Nabi SAW. Ali bin Abi Thalib mengusulkan perhitungan awal tahun dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah (Yatsrib). Tanggal hijrah Nabi SAW itu (tanggal tiba di Madinah) adalah 8 Rabiulawal/20 September 622. Usul diterima Khalifah Umar karena peristiwa hijrah merupakan titik pemisah periode Mekah dan periode Madinah dan merupakan awal keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam.

Sebelum ada penetapan awal tahun Qamariah, seorang Arab menandai tahun-tahun dengan peristiwa penting atau luar biasa yang terjadi pada tahun  itu. Misalnya, ketika Nabi Muhammad SAW lahir, tahunnya dinamakan Tahun Gajah karena pada tahun tersebut terjadi serangan tentara bergajah yang hendak meruntuhkan Ka’bah. Tahun pertama keberadaan Nabi Muhammad SAW di Madinah (setelah kerasulan Muhammad SAW) disebut Tahun Azan karena tahun tersebut disyariatkan azan; tahun keduanya disebut Tahun Izin Berperang, Tahun Puasa, Tahun Zakat atau Tahun Kurban, karena pada waktu itu disyariatkan izin perang, puasa, zakat, dank urban. Tahun kesembilan hijrah disebut Tahun al-Bara’ah (at-Taubah) yang menyatakan Tuhan dan Rasul-Nya melepaskan ikatan perjanjian dengan kaum musyrik Mekah. Tahun kesepuluh disebut Tahun Wada’ (Tahun perpisahan) karena terjadi haji wada Rasulullah SAW.

Adapun perhitungan hari, bulan, dan tahin sudah dikenal jauh sebelum Islam. Satu tahu Qamariyah lamanya 354 hari, 8 jam, 47 menit, dan 36 detik; terdiri dari 12 bulan, masing-masing lamanya 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan 3 detik. Perhitungan waktu berdasarkan matahari dan bulan disebut dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 5. Sedangkan perhitungan 1 tahun 12 bulan disebut dalam syrat at-Taubah ayat 36 dan 37. Setiap bulan  ada yang berjumlah 30 hari dan ada yang 29 hari. Yang berjumlah 30 hari ialah  bulan-bulan ganjil (bulan ke-1, ke-3, ke-5, ke-7, ke-9, dan ke-11). Sedangkan yang berjumlah 29 hari (bulan ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10 dan ke-12).

Nama-nama bulan pun sudah dikenal jauh sebelum Islam. Bulan pertama dinamai Muharam (diharmkan). Dinamakan demikian karena pada bulan itu diharamkan untuk berperang atau menumpahkan darah. Ketika Islam datang, larangan perang pada bulan itu dicabut. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 191 yang artinya: “Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai..” Namun penamaan bulan pertama itu tetap dipakai Muharam.

Bulan kedua, dinamai Safar (kosong, atau kuning). Dinamakan demikian karena pada bulan kedua ini dahulu semua laki-laki bangsa Arab meninggalkan rumah-rumah; ada yang berperang, berniaga, atau mengembara sehingga rumah-rumah kosong dari kaum lak-laki.

Bulan ketiga dinamai Rabiulawal (rabi’ al-awwal = pertama menetap). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini laki-laki yang tadinya meninggalkan rumah sudah kembali berada di rumah keluarganya masing-masing.

Bulan keempat, dinamakan Rabiulakhir (rabi’ ats-tsani = menetap yang kedua atau penghabisan). Dinamakan demikian karena semua laki-laki yang tadinya meninggalkan rumah telah menetap dirumah masing-masing untuk terakhir kalinya.

Bulan kelima, dinamai Jumadilawal (Jumada al ula = kekeringan pertama). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab mengalami kekeringan.

Bulan keenam, disebut Jumadilakhir (Jumada ats-Tsaniah = kekeringan kedua atau penghabisan). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu bangsa Arab mengalami kekeringan untuk kedua kali atau terakhir kalinya pada tahun itu.

Bulan ketujuh, dinamakan Rajab (mulia). Orang Arab dahulu memuliakan bulan ini dengan cara menyembelih anak unta yang pertama dari induknya. Kurban ini disebut fara’a dan dilakukan pada tanggal 1 rajab, pada tanggal 10 Rajab disembelih lagi anak unta, tidak mesti anak unta yang pertama. Penyembelihan Kurban ini disebut ‘atirah. Kebiasaan ini kemudian dihapuskan oleh ajaran Islam. Pada bulan Rajab ini orang arab kuno juga pantang berperang dan pintu Ka’bah selalu dibuka, sedangkan pada bulan-bulan biasa pintu Ka’bah selalu ditutup. Kebiasaan ini tidak diteruskan lagi dalam tradisi Islam.

Bulan kedelapan, dinamakan Syakban (Sya’ban = bergerak-gerak). Dinamakan demikian karena pada bulan ini masyarakat Arab dahulu bertebaran pergi kelembah-lembah dan oase-oase mencari air. Pada waktu itu terjadi musim kering sehingga mereka dilanda kesulitan air.

Bulan kesembilan, disebut Ramadan (Ramadan = panas sangat terik atau terbakar). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini dahulu cuacanya sangat panas. Jika orang berjalan kaki tanpa alas kaki, maka telapak kakinya terbakar. Pada zaman Islam, arti Ramadan dimaksudkan dengan pembakaran dosa bagi orang yang melakukan puasa Ramadan. Sesuai dengan hadits Nabi SAW yang artinya: “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramdan dengan ikhlas dan karena Allah, niscaya diampuni segala dosanya yang terdahulu” (H.R Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’I, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan Ahmad).

Bulan kesepuluh, dinamakan Syawal (Syawwal = naik). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang-orang Arab mempunyai kebiasaan naik unta. Pinggul unta dipukul, sehingga ekor unta menjadi naik. Pada masa Islam, Syawal diartikan sebagai naik atau peningkatan amal kebajikan setelah sebelumnya dilatih selama sebulan dengan berpuasa Ramadan.

Bulan kesebelas, disebut Zulkaidah (Zu al-Qaidah = yang empunya tempat duduk). Dinamakan demikian karena dahulu orang Arab pada bulan ini mempunyai kebiasaan duduk-duduk di rumah, tidak pergi mengadakan perjalanan.

Bulan keduabelas, disebut Zulhijah (Zu al-hijjah = yang empunya haji). Sejak Nabi Adam AS, manusia sudah biasa melaksanakan ibadah haji di Baitullah (Ka’bah). Semua nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji, tetapi tata cara ibadah haji mereka tidak diketahui secara pasti. Orang Arab Jahiliyah juga melaksanakan ibadah haji dengan tata cara yang berbeda dengan praktek ibadah haji dalam Islam. Dalam agama Islam, pelaksanaan haji juga dilaksanakan pada bulan Zulhijah dengan tata cara sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Semua nama-nama bulan yang dipakai orang Arab sejak dahulu dipakai juga pada masa Islam, baik di Arab maupun di dunia Islam lainnya. Abul Rayhan al-Biruni, sejarawan Islam, meriwayatkan bahwa dikalangan bangsa Arab kuno dikenal nama-nama bulan yaitu al-Mu’tamir (bersamaan dengan bulan Safar dan dianggap sebagai bulan pertama), Najir, Khawwan, Bussan, Hantam atau Hanam, Zaba’ atau Zubi, al-Asamm, Adil, Nafik, Waghl, Huwa’, dan Burak. Tetapi nama-nama tersebut tidak lazim dipakai di dunia Arab.

Dahulu orang Arab membagi hari setiap bulan dalam tiga satuan yang masing-masing terdiri dari sepuluh hari. Hari pertama dihitung sejak al-hilal (bulan sabit) dengan nama Gurar, Nufal, Tusa’, ‘Usar, Bid, Dura’, Zulam, Hanadis atau Duhm, Da’adi, dan Mihak. Tetapi yang lazim dipakai adalah satuan-satuan yang masing-masing terdiri dari tujuh hari yang dikenal dengan satu minggu. Orang Arab memberi nama Awwal (untuk hari Ahad), kemudian Ahwan, Jubar, Dubar, Mu’nis, ‘Aruba, dan Siyar. Dalam Islam, nama-nama tersebut menjadi al-Ahad, al-Isnain, as-Sulasa’, al-Arba’, al-Khamis, al-Jumuah, dan as-Sabt. Diindonesiakan menjadi Ahad/Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu.

Nama hari dan waktu jatuh hari-hari tersebut bersamaan antara sistem penanggalan Kamariyah dan sistem penanggalan Syamsiyah. Artinya, jika hari ini Selasa, maka baik dalam penanggalan Kamariyah maupun dalam Syamsiyah sama-sama hari selasa. Yang beda adalah bulan dan tahunnya. Sedangkan tanggal sekali-sekali bersamaan.   



Referensi: Dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar